Hari Buruh, Momentum “Kuli Tinta” Naik Kelas Jadi “Mediapreneur”

Ditulis Oleh: Adam Nugraha Wiradhana Basrindu, Ketua SMSI Banjarmasin, Pemimpin Umum Media Borneoterkini.com, Founder Startup WARKO.ID, dan Kaperwil Tribrata TV Kalimantan Selatan.

REDAKSI LINTAS, BANJARMASIN – Hari Buruh atau May Day yang diperingati setiap tanggal 1 Mei ini berasal dari reaksi atas revolusi industri di Inggris yang menyebar ke Amerika Serikat dan Kanada.

Tepatnya pada 1 Mei 1886, kaum buruh pada masa itu menuntut jam kerja dipersingkat dari awalnya 16 jam sehari menjadi 8 jam sehari.

Dilansir dari website npr.org aksi demo penuntutan yang lahir dari gerakan jam kerja 8 jam di Chicago abad ke-19 ini pun disertai mogok kerja sampai beberapa hari lamanya. Kaum anarkis dan aktivis buruh di Chicago memulai pemogokan selama beberapa hari yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Haymarket tahun 1886.

Sementara di Indonesia, peringatan Hari Buruh sempat menuai larangan hingga akhirnya ditetapkan menjadi hari libur nasional. Penetapan May Day sebagai libur nasional dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Saat itu, hasil diskusi SBY dan jajaran bersama Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal, pemerintah mengabulkan keinginan para pekerja untuk libur pada 1 Mei.

Sebelumnya, pada era Soeharto, Hari Buruh disebut identik dengan ideologi kiri yang saat itu sangat dilarang. Akibatnya, peringatan Hari Buruh Internasional setiap 1 Mei pada masa Orde Baru pun sempat ditiadakan.

Langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan May Day adalah mengganti nama Kementerian Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja. Hingga kini, kata “Tenaga Kerja” masih tersemat dalam Kementerian Ketenagakerjaan, alih-alih Kementerian Perburuhan.

Sekarang istilah “buruh” identik dengan “kuli”, pada dasarnya, buruh, pekerja, tenaga kerja, maupun karyawan adalah sama. Namun dalam kultur Indonesia, “Buruh” berkonotasi sebagai pekerja rendahan atau pekerja kasar yang menjadi identik dengan istilah “kuli”.

Sedangkan pekerja, tenaga kerja, dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tetapi otak dalam melakukan kerja.

Istilah Kuli (bahasa Belanda: koelie, bahasa Inggris: coolie) adalah orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya, seperti untuk membongkar muatan kapal atau mengangkut barang dari stasiun, dengan memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain. Istilah lain digunakan untuk menyebut kuli sebagai pekerja kasar.

Sekitar tahun 1600-an, istilah tersebut muncul ketika orang Eropa menyebut pekerja asli yang dipekerjakan secara kasar di India dan Tiongkok. Menurut Kamus Inggris Oxford, istilah tersebut berasal dari bahasa Hindi quli yang berarti “pelayan yang disewa”.

Kemudian dipinjam oleh bangsa Portugis yang menggunakannya di India selatan (yang secara kebetulan, kuli dalam bahasa Tamil berarti “menyewa”).

Istilah kuli di Indonesia kini lebih dominan merujuk pada pekerja kasar yang dipekerjakan untuk sebuah proyek infrastruktur, bangunan, atau konstruksi.

Kembali pada peringata Hari Buruh, dimana pada hari peringatan ini, para buruh dari berbagai sektor melakukan pergerakan turun ke jalan untuk menuntut hak-hak nya sebagai tenaga kerja. Khususnya adalah penyesuaian kenaikan gaji atau upah, yang di standarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP)dan ditetapkan per Kabupaten dan Kota.

Namun ada satu profesi buruh di Indonesia yang juga perlu mendapat perhatian untuk hak-haknya sebagai tenaga kerja, yang biasa disebut dengan “kuli tinta” atau wartawan.

Istilah kuli tinta yang diartikan menurut kamus besar bahasa Indonesia (kbbi) memiliki dua arti, yaitu yang pertama adalah “wartawan” dan yang kedua adalah orang yang memperoleh penghasilan (bermata pencaharian) dari menulis karangan (artikel, buku, dsb).

Melihat kenyataan dilapangan, kuli tinta atau wartawan pada media-media besar memang memiliki gaji atau upah yang sangat layak, namun masih banyak wartawan yang bergaji rendah, di bawah UMP. Padahal wartawan selalu dituntut profesional. Tuntutan itu akan sulit tercapai jika wartawan digaji secara tak layak.

Profesi wartawan merupakan kerja intelektual. Karena itu, selain kebutuhan hidup sehari-hari, wartawan membutuhkan masukan untuk peningkatan intelektualnya seperti membeli buku dan berlangganan berbagai program untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya.

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan dalam Dialog Pers Menjawab yang disiarkan langsung oleh Stasiun TVRI, menyampaikan hasil survei AJI mengenai kondisi media massa di Indonesia.

Survei dilakukan terhadap 400 wartawan yang bekerja di 77 media massa dan tersebar di 17 provinsi. Salah satu data yang diperoleh dari survei ini, Manan menyebutkan, ternyata 25% wartawan saat ini mendapat gaji rata-rata Rp.1– Rp.1,3 juta perbulan. Bahkan ada yang masih menerima gaji di bawah Rp.200 ribu perbulan.

AJI sendiri, menurut Manan, telah menetapkan gaji layak bagi wartawan sebesar tiga kali UMP. Gaji tersebut sebanding dengan tanggung jawab wartawan yang besar. “Berita wartawan sangat menentukan banyak orang,” katanya.

Penelusuran tim SMSI Banjarmasin dilapangan yang mewawancarai 48 orang wartawan di Kota Banjarmasin, menemukan masih ada wartawan yang tidak mendapatkan gaji tetapi hanya honor per berita yang berkisar antara 15-25 ribu per berita yang terbit.

Ada juga wartawan yang hanya mendapatkan bagi hasil dari iklan dan kontrak publikasi dari instansi yang berkisar antara 10-50 % dari nilai iklan dan kontrak publikasi, untuk nilai bagi hasil 50 % biasa disebut dengan istilah “belah semangka”.

Selain itu, hasil penelusuran SMSI Banjarmasin di lapangan juga masih ada perusahaan media yang sudah tervirifikasi faktual oleh Dewan Pers, masih memberikan gaji untuk “pucuk pimpinan nadi jurnalistiknya” yaitu Pemimpin Redaksi, masih senilai dengan UMP saja. Bisa kita bayangkan berapa gaji untuk pekerja dan khususnya “kuli tinta” yang jabatannya dibawah Pemimpin Redaksi.

Kondisi itu cukup ironis, mengingat gaji setara UMP di perusahaan-perusahaan media besar arus utama adalah setara untuk pegawai baru atau bahkan “kuli tinta” junior saja.

Kondisi seperti ini memang cukup memprihatinkan, sehingga mengakibatkan sebagian “kuli tinta” yang tidak memiliki gaji atau hanya bergaji rendah mengharapkan penghasilan tambahan atau “amplop” dari narasumber, yang biasa disebut “stabil”.

Stabil dari narasumber adalah “rezeki” yang tidak bisa ditolak, “amplop kestabilan” ini cukup untuk menambah kepulan asap dapur rumah tangga para “kuli tinta” sehari-hari.

“Amplop kestabilan” juga menjadi parameter skala prioritas liputan bagi para “kuli tinta”, dimana liputan yang “stabil” lebih diutamanakan untuk diliput daripada liputan yang “tidak stabil”.

Melihat situasi seperti ini, dengan kemajuan teknologi di era sekarang ini, sudah banyak “kuli tinta” dengan memanfaatkan kemudahan teknologi untuk mendirikan perusahaan media sendiri dengan bentuk media siber atau media online.

Para “kuli tinta” pun naik kelas menjadi pengusaha media, walaupun karena masih rintisan masih banyak yang dikelola dengan model CEO (plesetan Chief Executice Officer menjadi Chief Everyting Officer, red) atau bisa dikatan dia pemilik perusahaan, dia jua yang jadi pemimpin redaksinya, dia juga wartawannya, dia juga marketing nya.

Sebenarnya naik kelasnya Kuli Tinta menjadi pengusaha media adalah sebuah kemajuan intelektual bagi bangsa ini, sehingga perusahaan pers sebagai “kontrol sosial” menjadi semakin banyak dan merata ke daerah-daerah.

Selain itu, naik kelasnya Kuli Tinta menjadi pengusaha media juga menjadi peluang usaha baru untuk generasi milenial dan zilenial dalam menghadapi era kemajuan teknologi yang semakin kejam dengan profesi-profesi tradisional.

Hanya saja, naik kelasnya Kuli Tinta menjadi pengusaha media juga perlu diimbangi dengan mental dan mindset entrepreneurship, sehingga perusahaan media rintisan yang dikelola oleh “kuli tinta” ini bisa memaksimalkan potensi-potensi pendapatan perusahaan media.

Naik kelasnya Kuli Tinta menjadi pengusaha media yang diimbangi dengan mental dan mindset entrepreneurship bisa lebih nyaman disebut dengan “mediaprenuer”.

Sumber pendapatan untuk mediaprenuer di era teknologi ini juga semakin menggiurkan, selain dari pendapatan iklan dan kontrak publikasi, potensi pendapatan besar dari platform digital seperti iklan adsense google dan bisnis afiliasi dari Shopee Affiliate dan Tiktok Affiliate juga semakin terbuka lebar.

Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) sebagai sebuah asosiasi atau organisasi perusahaan media siber menjadi sebuah oasis bagi para mediaprenuer sebagai sarana perjuangan dan wadah untuk bertumbuh di era teknologi yang berkembang semakin cepat.

Organisasi yang lahir dari rahim Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini sangat terbuka dengan para mediapreneur dengan berbagai skala usaha media, termasuk mediapreneur rintisan yang masih berskala UMKM.

Ketua Umum SMSI, Firdaus menyatakan SMSI memiliki program strategis untuk mengembangkan organisasinya yang beranggotakan sekitar 2.000 perusahaan tersebar di tanah air. Yang disampaikan pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan HUT ke-6  SMSI yang digelar di Hall Dewan Pers, Jakarta, Senin, 6 Maret 2023.

SMSI sebagai organisasi media siber terbesar di Indonesia, selain menjadi wadah berkumpul bagi para mediapeneur, juga memberikan advokasi hukum dengan lembaga yang bernama LBH SMSI, ada juga Milenial Cyber Media (MCM-SMSI) sebagai gerbang awal para generasi Milenial dan Zilenial masuk ke bisnis media.

Untuk peningkatan kemampuan jurnalistik, SMSI mendirikan Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred SMSI) untuk mengawal kemampuan keredaksian dari para mediapreneur yang tergabung dibawah SMSI.

Dan untuk mengawal teknologi, SMSI juga mendirikan Badan Siber Nasional (BSN –SMSI), BSN –SMSI menjadi pelengkap ekosistem yang mengayomi para mediapreneur yang tergabung di SMSI untuk semakin bertumbuh kembang menjalankan bisnisnya.

Solusi kongkrit dari SMSI dengan semangat membangun kehidupan pers nasional yang lebih baik, yaitu semangat peningkatan kesejahteraan para “kuli tinta” di momentum Hari Buruh 2023 ini. Soluinya adalah memberikan sebuah motivasi untuk kawan-kawan para “kuli tinta” yang sekarang sedang berjuang di lapangan untuk memberanikan diri naik kelas menjadi “mediapreneur”.

Selamat “Naik Kelas” bagi kawan-kawan “kuli tinta” yang sudah berani berjuang menjadi “mediapreneur”, semoga cita-cita bersama ini bisa menjadi langkah awal untuk membangun kehidupan pers nasional yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan para “kuli tinta” di momentum Hari Buruh 2023 ini.

Selamat Memperingati Hari Buruh 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *